Selasa, 22 April 2008

Hari Kartini : 'Aisyah, pejuang wanita seluruh dunia

Amru bin ‘Ash pernah diutus Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan menuju Dzatus Salasil. Ia kemudian mendatangi Rasulullah dan bertanya, “ Siapakah orang yang paling engkau cintai? “

“’Aisyah,” jawab beliau.

“Dari kaum laki-laki?”

“Ayahnya (Abu Bakar)” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)

‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, siapa tak mengenal perempuan cantik, cerdas, shalihah dan dicintai Rasulullah SAW ini? Humairo, pipi putih kemerah-merahan adalah pujian Rasulullah pada kecantikannya. ‘Aisyah adalah anak dari sahabat dekat sekaligus istri yang paling istimewa bagi Nabi terakhir kita yang mulia. Maka ia mendapat gelar Ummul Mu’minin (Ibunya orang-orang mu’min). Bahkan bila kita ingin mencari pahlawan wanita yang benar-benar memperjuangkan hak-hak kaumnya di seluruh dunia, ‘Aisyah lah jawabannya.

Saudariku, bila kita baca kembali gagasan-gagasan Kartini tentang emansipasi wanita, maka kesimpulannya hak perempuan yang harus diperjuangkan adalah hak memperoleh pendidikan yang sama. Di era Kartini (akhir abad 19), wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diizinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diizinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Padahal ‘Aisyah yang lahir 15 abad yang lalu sejak usia remajanya telah memikirkan tentang hak kaum perempuan itu.

Dari segi pendidikan, Kartini hanya belajar sampai sekolah dasar tapi juga rajin membaca buku-buku tentang kemajuan wanita di Eropa. Sedangkan ‘Aisyah sejak kecil senang belajar, bahkan mampu menghafal ayat al-Qur’an yang didengarnya meskipun sedang asik bermain. Ia berkata,

“Ketika aku masih kecil dan suka bermain, Rasulullah SAW menerima ayat berikut ini di Mekah, ‘Bahkan hari Kiamat itulah yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan pahit.’(QS.Al Qamar : 46) “ (HR. Bukhari)

‘Aisyah beruntung karena memperoleh kehormatan untuk menjadi sahabat sekaligus istri terdekat Rasulullah sejak kecil hingga remaja. Sehingga ia dapat belajar langsung dari Rasulullah tentang Islam, dan ia banyak bertanya tentang hal-hal khusus yang dialami wanita. Bahkan Rasulullah menunjuk ‘Aisyah untuk mengajarkan Islam khusus bagi kaum perempuan. Maka ‘Aisyah selalu membantu para perempuan yang datang padanya dan menyampaikan persoalan mereka kepada Rasulullah SAW.

Dari ayahnya, Abu Bakar, ‘Aisyah mewarisi keahlian bidang sastra dan syair. Ia juga menguasai sejarah bangsa-bangsa dan ilmu pengobatan. Keluasan ilmunya terlihat dari caranya berbicara dan bertingkah laku.

‘Aisyah adalah satu-satunya perempuan yang termasuk periwayat hadits terbanyak. Ia mampu menghafal dan meriwayatkan 2.210 hadits dari sekitar 9 tahun perjalanan hidupnya bersama Rasulullah. Padahal sebagaimana fitrah seorang wanita, ia jarang keluar rumah dan berkesempatan lebih sedikit dalam menghadiri majelis-majelis illmu hadits dibandingkan laki-laki. Ia juga tidak memiliki kesempatan berkunjung ke kota-kota besar pusat ilmu pengetahuan, sebagaimana kesempatan itu dimiliki laki-laki. Ini membuktikan bahwa fitrah sebagai perempuan tidak menjadi penghalang bagi seorang perempuan dalam mencari ilmu, karena mereka tetap bisa berprestasi dan berkarya.

Tentang perjuangannya mengangkat derajat kaum perempuan, terlihat dari pendapatnya yang banyak memberi kemudahan dan pembelaan bagi kaum perempuan.

1.Bangsa Arab sangat bangga memanjangkan dan menyeret pakaiannya di atas tanah. Rasulullah melarang hal itu dengan bersabda,

“Barang siapa menyeret pakaiannya untuk menyombongkan diri, Allah tidak akan pernah memandangnya di hari kiamat” (HR Bukhari Muslim).

Mendengar hal itu, ‘Aisyah bertanya kepada Nabi, “Bagaimana dengan pakaian perempuan? “

Beliau menjawab, “ Panjangkanlah sejengkal saja”

‘Aisyah bertanya lagi, “ Jika kaki mereka terlihat? “

Rasulullah berasabda, “ panjangkanlah sehasta, dan jangan lebih dari itu. “ (HR. Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Darimi)

2. Islam memerintahkan agar perempuan dimintai persetujuan mereka sebelum dinikahkan. Rasulullah bersabda,

“ Seorang janda tidak boleh dinikahkan, kecuali ia dimintai pertimbangan. Seorang gadis juga tidak boleh dinikahkan hingga ia dimintai persetujuan. “ (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i)

Akan tetapi karena sifat dasarnya pemalu, seorang gadis seringkali malu menyatakan persetujuannya. ‘Aisyah menyadari itu dan berkata, “ Wahai Rasulullah, seorang gadis cenderung malu”

Rasulullah pun bersabda, “ Jika ia diam, maka itulah tandanya bahwa ia rela (setuju).” (HR.Bukhari)

3. Salah satu tradisi jahiliah yang merendahkan kaum perempuan adalah tidak ada batasan jumlah talak dan rujuk yang boleh dilakukan suami dalam perceraian. Suami bebas menalak istrinya berkali-kali.

Seorang perempuan yang mengalami hal ini mendatangi ‘Aisyah dan meminta solusi. ‘Aisyah belum bisa menjawab dan bertanya kepada Rasulullah. Rasulullah pun terdiam, hingga turun ayat.

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat ) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” ( QS. Al Baqoroh :229)

Sejak itu orang-orang memulai hitungan baru dalam talak yang mereka jatuhkan kepada istri mereka. (HR. Tirmidzi)

4. Abdullah bin Zubair pernah memfatwakan bahwa seorang perempuan yang berihram dalam haji maupun umroh, wajib memotong rambutnya sepanjang empat jari. Ketika ‘Aisyah mendengar fatwa itu, ia berkata,

“ Tidakkah kalian heran terhadap Ibnu Zubair ? Ia berfatwa bahwa seorang perempuan yang berihram harus memotong rambutnya sepanjang empat jari, padahal perempuan itu cukup memangkas ujung rambutnya saja.”

‘Aisyah bukan saja teladan perempuan dalam didang pendidikan. Dalam bidang rumah tangga, ia malah lebih sukses dibandingkan Kartini. Ia adalah istri yang selalu mendukung suaminya dan melayaninya dengan baik.

Meskipun Rasulullah beristri banyak, ‘Aisyah berinteraksi dengan sikap lapang dada terhadap istri-istri yang lain. Ia justru meriwayatkan banyak pujian kepada para istri Rasulullah yang lain. Ia memahami poligami bukan sebagai penindasan terhadap kaum wanita, justru perlindungan lebih dan penghargaan terhadap mereka. Ia juga tidak pernah berghibah atau menyakiti perasaan orang lain.

Dengan ketaatan pada suami yang dilandasi taat kepada Allah dan mengharap ridha Allah semata, kehidupan poligami ‘Aisyah dengan Rasulullah justru dipenuhi keberkahan dan hikmah yang luas. Hubungan ‘Aisyah dan Rasulullah tetap harmonis, bahkan Rasulullah pada akhir hayatnya berbaring dalam pangkuan ‘Aisyah.

Saudariku yang shalihah, ‘Aisyah adalah pahlawan bagi semua kaum perempuan didunia. Ia membuktikan bahwa wanita bisa memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki tanpa meninggalkan fitrahnya sebagai wanita. Asalkan wanita tersebut mau terus belajar, tidak malu bertanya dan meluruskan niatnya beraktivitas adalah untuk mengharap keridhaan Allah.

Cantik, cerdas, suci, lembut tetapi juga berani dan dicintai oleh suami termulia. Akhlak dan keluasan ilmunya adalah sumber inspirasi bagi seluruh wanita di dunia.

Muslimah…

Kau akan mulia, dengan ilmu dan ketaatanmu pada Allah! : )